Cover
Cover
Access PointsLibrary of Congress Subject Headings

Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara

Perpustakaan

Bentuk Judul Lain-
Find or request this item
Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara
Nomor Panggil: 959.8 ERW

Nomor Panggil 959.8 ERW
Sub-KoleksiReference Collection/Koleksi Referensi
ISBN9793472804; 9789793472805
Tahun2012; ©
Penulis & PenyusunErwiza Erman (creator)
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Sawahlunto (collector)
Ringkasan

Untuk menjaga warisan berharga dari kotanya, Pemerintah Kota Sawahlunto pada tahun 2012 menerbitkan sebuah buku sejarah berjudul Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara, yang ditulis oleh Dr. Erwiza Erman bersama tim. Sawahlunto, kota kecil yang terletak di Sumatera Barat, dulunya merupakan sumber kekayaan besar bagi pemerintah kolonial Belanda berkat tambang batu baranya yang melimpah. Sayangnya, setelah kekayaannya dikeruk habis, kota ini pun ditinggalkan begitu saja.

Dengan gaya bahasa yang ringan dan mengalir seperti sedang bercerita, buku ini mampu menarik perhatian pembaca untuk terus membuka halaman demi halaman. Buku ini mengangkat kisah sejarah yang jarang diketahui masyarakat luas, yakni tentang orang rantai—para tahanan yang dijadikan pekerja paksa oleh pemerintah kolonial untuk mengeksploitasi batu bara di Sawahlunto.

Deskripsi Fisik v, 84 halaman ; 17 cm
Jenis Pembawaother
BahasaBahasa Indonesia
PenerbitDiterbitkan atas kerja sama Ombak [dengan] Pemerintah Kota Sawahlunto, 2007
Catatan

Terdiri dari tiga bab, buku ini menjadi panduan penting bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat tentang kehidupan orang rantai. Kota yang dulunya hampir mati ini, kini telah dibangkitkan kembali sebagai destinasi wisata sejarah, lengkap dengan jejak kehidupan para tahanan masa lalu.

Bab pertama buku ini mengupas asal-usul orang rantai. Mereka merupakan para tahanan yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa dan dianggap sebagai kriminal oleh rezim kolonial. Para narapidana ini kemudian dimanfaatkan untuk bekerja di tambang batu bara milik Belanda di Sawahlunto.

Tanpa pilihan, mereka harus mengikuti perintah penjaga penjara, layaknya hewan kurban yang digiring ke tempat penyembelihan. Mereka diangkut menggunakan kereta api menuju Pelabuhan Tanjung Priok, tempat keberangkatan menuju Sumatera.

Bab kedua menceritakan kehidupan keras para orang rantai di dalam lubang tambang. Kekerasan dan kekejaman menjadi bagian dari rutinitas mereka. Perselisihan antar sesama pun tak jarang terjadi. Mereka harus bekerja tanpa alat pengaman, dan jika kecelakaan terjadi, kematian tanpa identitas menjadi akhir tragis bagi mereka.

Pekerjaan di tambang sangat berat, berbahaya, dan membuat mereka tidak pernah melihat sinar matahari sepanjang hari. Ditambah lagi dengan pengawasan dari mandor-mandor tambang yang kejam dan tak mengenal belas kasihan.

Di bagian penutup, buku ini juga memaparkan bagaimana upah yang diterima oleh orang rantai direbut kembali oleh pihak kolonial melalui hiburan. Pemerintah Belanda menyediakan tontonan seperti gamelan, ronggeng, hingga kuda kepang, serta membuka ruang untuk berjudi. Cara-cara ini digunakan untuk menguras kembali penghasilan para tahanan tersebut.